Ketika
ada seorang bocah, berusia tujuh atau delapan tahun mendekatimu, dan dengan
entengnya mengatakan,”Mba, minta duit,” apa yang akan kamu lakukan? Pilihan
biasanya ada dua, pertama, mengacuhkan. Kadang-kadang aku juga gini. Habisnya
yang jadi pengemis lebih kerenan dari aku sih, lebih gemukan (aku emang kurus
sangat ya?), Hpnya aja lebih canggih. Rasanya ngga etis banget aku ngasih ke
orang yang punya “modal” seperti itu. Terus, pilihan kedua adalah kita
menyodorkan beberapa lembar uang kita, tak jarang uang receh yang nyelip
disela-sela kantong yang udah lepek. Tapi kali itu, aku pengen melakukan hal
yang lain. Ah, tepatnya spontanitas ding.
Bocah
itu, (ah, entahlah siapa namanya, semoga ketika besar kelak dia tak menjadi
pengemis seperti apa yang ia lakukan sekarang ini) menghampiriku yang baru
keluar dari In**mart dekat asrama. Ia masih menggunakan seragam sekolah, namun
sudah nampak kumal. Mukanya juga kotor kena debu jalanan. Dengan entengnya dia
mengatakan,”Mba, minta duit.” Kalo aku kenal dia sih ngga papa, tapi aku kan
ngga kenal dia, dia juga belum tentu kenal aku. Yah, namanya juga pengemis.
Tapi aku tergelitik juga buat tanya lebih lanjut.
“Minta
uang buat apa dek?” tanyaku mencoba meramahkan diri.
“Buat
beli es cream, Mba,” jawabnya dengan mata memandang ke aspal.
Oiii,
gue aja udah berbulan-bulan ngga makan es cream.
“Memang
Bapak kamu kemana? Ngga minta sama bapak aja?” tanyaku lagi. Setahuku, dan
semoga benar, anak seusia dia masihlah menjadi tanggungan orang tua. Tentu
tidak dibenarkan ketika dia meminta-minta pada orang lain selain orang tuanya
dalam keadaan tidak terdesak. Buat beli es cream coba.
“Bapak
lagi layat, Mba,”
“Bapaknya
di perempatan jalan tuh, Mba,” sela seorang pemuda di dekat kami. Nampaknya ia
menyimak pembicaraan kami.
“Kalo
Ibu? Layat juga?”
Dia
hanya mengangguk lemah. Satu fakta, dia bukan anak yatim. Setidaknya belum aku
lihat pembenaran dari tindakannya menjadi peminta-minta. Mungkin kini di
pikirannya waktu itu, “Mba aneh, ngapain sih nanya-nanya?” tapi aku tak
perduli. Waktu-waktu yang bergulir selanjutnya, aku masih berbicara dengannya.
Menyakan banyak hal tentang ini itu. Mulai dari sekolahnya, PRnya yang belum
dikerjakan, ia yang dipaksa kakaknya untuk ikut mengemis (kakaknya di Al**mart
juga loh), bapaknya yang tak memberinya uang, hingga pengakuannya yang
mengatakan ulang tahun minggu depan. Ah, aku tentu ingin mengajaknya ke asrama.
Jika mau, dia akan aku belikan kue ulang tahun yang mungkin sangat ia impikan.
Tentu jika pengakuannya benar, tapi, dia menolak. Namanya juga pengemis.
Adzan
magrib baru saja terdengar dari masjid, dibersamai gerimis rintik-rintik. Jika
tidak teringat bahwa aku harus sholat magrib, mungkin pembicaraan setelah
hampir lebih dari 20 menit itu itu akan terus berlanjut. Tapi aku ternyata
harus menyudahinya setelah berkali-kali mengatakan,”Mengemis bukanlah
pekerjaan. Janganlah mengemis. Tuhan tidak suka akan hal itu, dan itu sungguh
bukan perbuatan yang baik, bekerjalah jika kau dewasa nanti. Tugasmu sekarang
adalah belajar, biar orang tuamu yang mencari uang untukmu. Sekali lagi jangan
mengemis. Itu sungguh bukan perbuatan yang baik, ” tentu dengan bahasa yang
mudah untuk ia pahami (aku punya ponakan seusia dia, ingat itu! Terus knapa?).
Aku
meninggalkannya, setelah sebelumnya memberinya sebungkus coklat (tau kan coklat
yang biasa aku beli?-.-).
Bocah
itu hanya satu, dari mungkin sekian ribu bocah-bocah yang tak beruntung. Bukan
karena tak beruntung berada dalam kemiskinan, tapi karena tak beruntung berada
di dalam bimbingan orang tua yang “tak benar”. Kenapa aku bilang tak benar?
Jika orang tua mengasuhnya dengan benar, tak mungkin orang tuanya membiarkan
anaknya malam-malam, magrib berada di luar rumah, mengemis pula. Meski semiskin
apapun, jika masih mampu, orang tua yang benar-benar mengajar anaknya dengan
benar, tak akan membenarkan tindakan mengemis seperti itu. Sungguh, dia pantas
mendapatkan lebih dari ini.
Kemudian,
terkenang masa kanak-kanak. Meski hanya berasal dari keluarga bekas transmigran,
keluarga yang harus berjuang penuh untuk bertahan hidup setelah kembali ke
pulau Jawa, setelah tertatih menata hidup kembali setelah goncangan
bertubi-tubi, sungguh, aku lebih beruntung dari ia. Orang tuaku tak pernah
mengajarkanku untuk menjadi peminta-minta. Keluargaku tak pernah meninggalkanku
sendirian di kegelapan malam, menghampiri orang-orang untuk meminta uang pada
mereka, berharap belas kasihan. Sungguh, aku jauh dan jauh lebih beruntung.
Ah,
aku teringat pula akan negriku yang kaya raya luar biasa. Melimpah ruah sumber
daya. Bagaimana negriku 10-15 tahun ke depan jika anak-anaknya lebih suka di
luar untuk mengemis daripada berada di dalam rumah, belajar, mengerjakan PR,
dan mengaji? Apakah ini salah keadaan? Patutkah kita menyalahkannya? Sungguh,
tentu tak ada gunanya saling menyalahkan sekarang. Tak perlu pidato,
penghimbauan pemberantasan kemiskinan, tak perlu sumbangan janji-janji, tak
perlu, sungguh.
Dan,
aku selalu bertanya, apa yang bisa aku lakukan?
Lagi-lagi
jawabannya adalah, aku hanya bisa menulis. Melukis keadaan mereka dengan
goresan tinta. Menerjemahkan keadaan mereka dengan otakku yang terbatas, dan
semoga mampu mengetuk hati yang keras, untuk sekedar peduli, melihat dan turut
memikirkan, apa yang bisa kita lakukan. Tidak hanya untuk mengulurkan tangan,
membantu, tapi juga berusaha memutus rantai yang terlanjur terjalin kuat.
Negara kita bukan negara pengemis. Ah, lagi-lagi, mungkin itu terlalu muluk.