Tuesday 17 December 2013

Litlle Think about Love

      Aku hanya tahu sedikit tentangnya. Tak lebih dari seujung kuku. Tapi aku kembali terusik atas peristiwanya, yang menggalaukan hati dan memberi kekisruhan pada otak yang tak bertepi.
      Ia pada wujudnya yang tak nyata, mencerminkan kehidupan pada insan manusia. Seperti layaknya udara yang tak terlihat, ia mampu memberikan kehidupan. atas ijin Sang Pencipta, kepada umat.
      Aku membiarkan ia berkeliling pada belantara kehidupan, lagipula tak mungkin aku mencegah. Bukankah banyak umat manusia mengharapkan hadirnya. Pada setiap nafas, pada setiap langkah mereka. Ya, terkadang aku melihat perih, pada luka yang menganga akibat goresan yang bersinggungan antara kedua pemiliknya. Namun bukan berarti luka itu tak tersembuhkan, karena ada obat penawar yang datang, sama-sama dari dirinya, namun mungkin dalam bentuk yang lebih berbeda. Aku hanya akan menyebutnya cinta.
Cukup sederhana pemaknaanku padanya. Tak perlulah serangkaian kata, karena sejatinya memang ia tak akan pernah terdefinisi dengan pasti. Jelas saja, dia bukanlah kata kerja, dia bukanlah kata benda, namun disatu sisi dia bisa saja menjadi keduanya.
Ya, aku memang tak perlu terlalu jauh mendefinisikannya. Aku hanya ingin membicarakannya, dari hati yang pernah merasainya, dari mulut yang pernah mengucapkannya, dan dari tangan yang pernah mengukirnya.
Pada kelayakannya, aku ingin dia hadir pada suatu ketika, ketika dua insan dipertemukan dalam sebuah ikatan resmi, suci nan indah, karena sebelumnya insan yang tak pernah dipertemukan secara langsung itu berani menjangkaunya. Pernikahan itu hanya diawali oleh keinginan memuliakan perintah Allah yang memang telah mulia. Namun, bukan berarti tanpa pengharapan akan cinta pada keduanya. Tentu aku hanya pengamat yang sedang menjadi saksi mata pada sebuah masa.

Langkah-langkah yang mereka jalin dalam rumah bahagia. Ya, akhirnya cinta menyapa mereka berdua. Apa mereka bahagia? Tidak selamanya, karena sejatinya cinta tak menjanjikan kebahagiaan nampak begitu cerahnya. Terkadang ada duka yang tak terelakan, kadang ada tangis yang tak tertepiskan. Mengapa? Aku sendiri tak tau, mungkin hakekat cinta memang demikian. Ia tak menjanjikan apapun pada manusia. Bukankah iya? Aku akan mengangguk takzim mengiyakan. Mungkin kamu tidak, dan aku tidak perduli.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Friday 13 December 2013

Dari Skripsi Sampae ODOJ

Gue frustasi. Eh..?
Bukan..bukan...bukan.. Bukan seperti yang elo bayangin bahwa saat ini gue lagi luntang lantung dijalan, dengan pakaian kumel. Apalagi lari-lari sambil nyanyi gaya Kuch Kuch Hota Hota Bento. Bukan itu. Hanya saja, sedari tadi mantengin layar leptop gue tetep ngga punya progres berarti. Ujung-ujungnya gue gambar buletan- buletan. Jadi deh pola polkadot buat bikin sapu tangan ingus. Lagi musim pilek kan. #Tuh kan ngga nyambung
Tau kan masalah tentang mahasiswa tingkat akhir. Memang sih, gue belum akhir-akhir banget, tapi tetap saja, bisik-bisik tetangga tetap terdengar. Anehnya gue jadi illfill kalau sering-sering denger kata itu. Nohok banget kayaknya kalau setiap ada yang tanya, “S******nya udah sampe mana?”,”S******nya tentang apa?” Bueehhhh, rasanya kaya naik kora-kora yang diayun pake tenaga nuklir Hirosima Nagasaki.  
Maksud elo skripsi?
Woi!! Itu kata keramat, ngga boleh di sebut! Hapus hapus hapus. Mana tip-X? Mana? Mana?????
Umpamanya gue disambungin sama mesin pelacak detak jantung, garisnya sekarang tuh lagi lurus.
Tapi, itu mungkin takdir ya, tapi mungkin juga seperti jodoh. Kalo belum ketemu jodohnya bagaimana pun dipaksain ya ngga bakalan cocok. Jadi gue sih sante aja kalau sampe skarang progres si S****** masih kaya gitu aja. Masih tenggang satu semester lagi dari persyaratan yang di beri nyokap gue. Sebentar ya? **Gue ketawa garing.
Jadi, daripada memperparah kondisi gue, gue lebih sering milih baca komik atau main ke blog macem-macem, tapi ngga yang macem-macem ko. Beneran deh. (kedip kedip). Kaya main ke blognya yang lagi tenar itu loh.
Apa coba?
Itu loh, yang artis juga ikutan acara mereka. Itu loh yang progress banget dan banyak dapet dukungan. Itu loh yang keren punya karena ide yang luar biasa membangun.
Penasaran?
Kita simak dibawah ini...
Jreng...jreng...
Inilah dia, ODOJ... One Day One Juz..
Oh, yang itu..emang lu udah ikut?
Belum *polos..
Padahal sih di beberapa grup whatsaap gue udah banyak yang mbahas ini. Mulai dari percakapan-percakapan penggugah semangat, sampai artis-artisnya yang lagi sibuk tapi tetep berusaha buat setoran ayat. Subhanallah.
Trus kenapa ngga ikut?
Gue belum siap. #tanpa dosa
Kaya kalau nikah itu loh. Gue belum siap nikah jadi ya ngga nikah. Karena gue belum siap masuk ODOJ, jadi ya gue belum masuk ODOJ. #Tapi kenapa analoginya ke nikah???
Why? Why? Why?
Gue kan masih labil gitu. Lo liat aja nama FB gue. Masih kayak anak ABG kan? Hahaha*ketawa garing banget.
Gue jadi bayangin kalo gue itu masuk grup ODOJ maka terjadilah sebuah percakapan panjang..
“08xxxxxxxxxxx1” Mujiku dapet juz 5 ya? Jam 8 malem sudah setoran ya...:)  (17.08)
“08xxxxxxxxxxx2” Alhamdulillah, ane juz 10 sudah. (17.20)
“08xxxxxxxxxxx3” Alhamdulillah... (17.29)
“08xxxxxxxxxxx4” Alhamdulillah...(17.30)
“08xxxxxxxxxxx1” Alhamdulillah...(17.32)
“08xxxxxxxxxxx3”Sudah Mau Isya nih, sudah setoran semua kah?” (18.43)
“08xxxxxxxxxxx5”Kayaknya tinggal Mujiku aja nih yang belum setor. Ayo Mujiku semangat!!” (18.45)
“08xxxxxxxxxxx1” Semangat Mujiku ^^ (18.47)
“08xxxxxxxxxxx6” Mujiku mana ya.. Ko ngga keliahatan? (19.20)
“08xxxxxxxxxx7” Wah, sudah mau jam 8 ini. Mujiku bagaimna? Sudah selesai? Ayo semangat! Kamu bisa...:) (19.36)
 “08xxxxxxxxxx9” Mujiku bagaimana? (19.37)
“08xxxxxxxxx10” Mujiku butuh bantuan? (19.39
“08xxxxxxxxx11” Kamu dimana Mujiku ?  (19.46)
“08xxxxxxxxx12” Bagaimana setorannya Mujiku? (19.47)
“08xxxxxxxxx15” Mujiku bagaimana? (19.48)
“08xxxxxxxxxx8” Mujiku di sms ngga bales! Di telp juga ngga di angkat..!! (19.50)
“08xxxxxxxxx15” Mujiku kamu dimana? (19.56)
“08xxxxxxxxx20” Bagimana Mujiku, sudah setorannya? (19.59)
“08xxxxxxxxx15” Kamu baik-baik aja kan, Mujiku? (20.08)
.................Mujiku left grup.................. (20.10)
Kisah yang tragis. Bayangan gue aja yang ngawur. Haha.
Sebenarnya kalo baca Al Qur’an satu jus dalam satu hari seperti yang di sunahkan Rasul bukan perkara yang susah jika kita benar-benar berusaha. Jika setelah sholat wajib baca dua lembar saja, satu jus yang banyaknya sepuluh lembar itu pun akan selesai. Belum lagi kalau kamu yang hobi bawa Al Qur’an kemana-mana. Bisa lebih. Mungkin dua atau tiga juz dalam sehari. Jika ada waktu senggang, daripada nglamun yang ngga-ngga (nglamun yang engga-engga misal nglamunin kejatuhan uang 1 M dari langit) mending baca Al Qur’an. Atau yang ngga mau ribet bawa Al Qur’an, HP lo pasti udah canggih. Tuh, bagus banget buat ngedit foto yang jadi pp kamu..^^ Ngga ada alasan dong, karena Aplikasi Al Qur’an digital gampang banget buat diperoleh. Gratis lagi.
Tapi memang kendala yang paling utama adalah “Malas”. Itu sih buat gue. Kalo elo pasti engga kan. Lu kan lebih keren dari gue. So, ngga ada kata males deh buat baca Al Qur’an dan merampungkan satu Juz dalam satu hari. Apalagi jika bergabung dengan grup ODOJ ini. Bakalan lebih semangat lagi karena dalam satu grup kita bakal dibersamai oleh 30 orang yang semangatnya membara, dan mereka akan membantu kamu menumbuhkan semangat untuk lebih mencintai Al Qur’an, dan mungkin semangat buat nyelesein skripsi...:).
ODOJ cuma salah satu alternatif saja. Salah satu ide kreatif yang berusaha memanfaatkan fasilitas yang sudah canggih macam Whatsapp ataupun BBM. Tapi, sebenarnya jika belum punya keduanya pun bukan masalah. Banyak kelompok-kelompok tahfidz Al Qur’an. Apalagi di kalangan mahasiswa. Kalau mau nyari, gampanglah. Tinggal kemauannya itu yang ngga tau dimana.

Masih ada alasan? Gue aja sih yang banyak alasan..
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Sunday 27 October 2013

Pilihan Gue

Setelah sekian lama, gue akhirnya naik bus lagi.
Njug ngopo, nduk?
Gue cuma mau ngasih tau aja sih. Selebihnya tentang apa yang terjadi di dalam bus bisa lo rancang sendiri. Kalo elo udah pernah naik bus kelas ekonomi yang mengeluarkan asap super pekat, dan kernet yang berteriak hinggar binggar lo pasti tahu kondisi gue yang tiga jam lewat berada di dalamnya. Belum lagi dengan hiburan setengah gratis yang ditawarkan artis-artis panggung lantai bus.
Oke, gue udah sering cerita. Tapi, tetap saja cerita itu ngga pernah habis untuk gue bagi ke elo yang demen baca note gue. Padahal sih ngga ada ya. Paling Cuma liat judulnya doang langsung di skip. Ngga penting. Tapi anggap saja gue lagi cerita sama kertas. Ok, itu cukupfair buat gue. Paling ngga ada yang nampung pikiran gue sebelum otak gue meledak karena terlalu banyak pikiran.
Langsung ke intinya aja. Gue ngga bisa nebak apa yang akan terjadi pada saat gue di bus. Banyak hal bisa terjadi. Gue udah pernah bilang belum kalo sopir itu umpamanya pemimpin? Oke, sudah. Anggap saja selesai. Gue ngga akan mbahas itu lagi. But, agak nyambung dikit sih.

Ada yang terjadi sebelum gue naik bus. Dua buah bus dengan tujuan yang sama mendarat bersama di depan gue (lu kira layangan?). Gue ngga sempet nanya diri gue sendiri buat milih mana bus yang pengen gue tumpangi. Masing-masing bus pengen cepet-cepet jalan, paling ngga meninggalkan bus saingannya dibelakang biar mereka bisa mendapatkan penumpang lebih dulu. Gue sih cuek bilang rejeki sudah ada yang ngatur, kenapa harus susul-susulan gitu, kan mbahayain penumpang juga. Tapi mungkin mereka sudah ahli dan punya alasan yang lebih logis dan diterima manusia manapun. Oke, selanjutnya gue tinggal naik aja tanpa memilih. Yang terdekat dengan gue lah yang gue pilih tanpa melihat momok si bus, raut si sopir, kursi penumpang, apalagi kaca spion. Ngga gue perhatiin.
Lebih lama dari beberapa menit, gue udah duduk dengan nyaman diposisi yang paling gue minati seumur hidup kalo naik bus, dekat jendela. Paling ngga gue bisa liat kalo ada topeng monyet yang lagi beraksi pergi kepasar. Setelah bayar kewajiban gue ke kondektur, gue pules. Tidur. Soal tidur gue seperti apa, gue ngga tau. Ngga ada yang cerita ke gue. Sungguh.

Gue tidur cuma sejam. Habis itu mata gue melek karena harap-harap cemas ngga bisa dateng ke acara “kumpul-kumpul mbahas masa depan” yang gue adain. Awalnya gue yakin pasti sempet, apalagi bus yang satu lagi ketinggalan dibelakang. Si Sopir ternyata ahli juga. Tapi satu jam berlalu, dan bus berhenti disebuah pemberhentian absurd di pinggir jalan. Bukan halte, dan ngga enaknya itu, bus yang tadinya di belakang menyusul dengan lancarnya.

Lebih panjang dari setengah jam pun berlalu, dan bus belum menandakan akan melaju. Gue liat jam. Mungkin masih sempet, tapi ketar ketir juga sih, dan beberapa saat kemudian sang sopir yang dari tadi gue liat nongkrong di warung akhirnya menduduki singgasanannya, memegang kendali, siap menjadi pemimpin busnya lagi, dan gue hanya bisa tersenyum kecut. Padahal pengen tanya apa alasannya. Apa coba? Jelasin ke gue apa alasan elo pak sopir. Tapi gue cukup sopan dan hanya duduk manut di kursi penumpang. Toh gue juga cuma penumpang. Gue udah milih dia sebagai sopir gue. Makanya gue harus patuh, tapi belum selesai kejengkelan gue, bus ternyata lajunya sepersekian lebih lambat dari sebelumnya. Ujian apa lagi ini.

Mungkin karena udah ngga balapan sama bus satunya, si sopir santai-santai aja, tanpa tau gue yang ngga bisa santai. Gue akhirnya sms “atasan” gue, kemungkinan gue telat atau ngga datang sama sekali. Ah, padahal gue yang minta mereka kumpul.

Gue telat satu jam dari jadwal seharusnya, dan bus yang gue tumpangi selanjutnya biasanya akan menurunkan penumpang di tengah perjalananan jika sudah sore. Dugaan gue benar. Gue diturunin di tengah jalan. Sendiri. Akhirnya gue sms ke “atasan” gue kalo gue ngga bisa datang ke acara kumpul-kumpul, dan penyesalan kenapa gue ngga ngga naik bus satunya pun menyerang tiba-tiba. Jika boleh berandai, pasti deretan kata andai itu sudah memenuhi kertas HVS A4 yang lagi gue ketik.

Gue ngga bisa milih. Tapi ketika lo punya pilihan untuk nentuin sopir elo, harusnya lo bisa nentuin sopir yang lebih baik, lebih profesional dan lebih mementingkan efisiensi waktu. Tentu dalam kasus lain juga. Jika lo cukup ada waktu untuk berfikir mungkin lo tau maksud gue. Tapi bisa saja engga. Pikiran gue kan terlalu abstrak untuk dipahami. Tapi terserah elo sih. Kalo elo pengen dibawa kesituasi yang ngga enak buat masa sekarang dan masa depan lo, ya terserah aja. Toh, semua pilihan udah disodorin ke elo, dan elo tinggal nentuin jalan lo. Gue harap sih lo bukan orang yang apatis yang ngga peduli sekitar, apalagi diri elo sendiri, karena nanti ujung-ujungnya apa yang elo pilih akan kembali ke elo juga.

Jadi, selama lo bisa milih, kenapa lo ngga milih yang terbaik. Kenapa lo harus nyerahin masa depan lo sebagai ajang coba-coba, atau karena melihat keuntungan semu. Misalnya karena jarak loe yang lebih dekat dengan bus. Emang sih ngga ada yang akan tahu tentang masa depan. Tapi ketika lo punya pilihan berarti lo punya waktu untuk berfikir dan menimbang secara rasional untung ruginya.
Terserah elo sih..gue tidur aja..












Kunjungi juga blok gue ziimujikuhibiniu.blogspot.com...:)




“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS Ali Imran, 3:28)
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Menguak Ingatan Masa Lalu

Saya masih ingat, suatu pagi, ketika embun masih menempel manja pada daun, tujuh insan manusia dusuk manis di kursi mereka masing-masing menghadap seorang ustadz yang pagi itu memberikan setitik ilmu Allah diatara ilu-ilmu yag maha luas. Terkadang mata merayu untuk kembali terpejam. Tapi kali itu, seorang yang duduk dibarisan kedua mendengar ustadz itu bercerita tentang zakat, dan sayup-sayup ia mendegar pejelasan sang Ustadz.  Yah, sebentar lagi Ramadhan, dan kata zakat pasti akan lebih sering terlontar dan terdengar. Ah, bukan berarti pada bulan-bulan sebelumnya kata itu tak ada. Tapi mungkin hanya lebih jarang. Bukankah di bulan Ramdhan pahala berlipat. Ya, zakat pun berlipat dari bulan sebelumnya. Memang tak ada salahnya toh mengharap yang berlipat. Tapi, entahlah. Kantuk yang semakin menggelayut, gadis itu masih sempat mendengar tentang sebuah opsi yang diajukan oleh salah seorang ulama tentang alokasi zakat untuk orang miskin. Apa istimewanya? Di desa gadis itu biasanya zakat fitrah yang diterima oleh badan amil zakat di bagi rata kepada orang-orang yang membutuhkan. Namun menurut pemikir Islam itu bagaimana jika metode pembagian zakat di buat berbeda agar zakat tidak hanya zakat.  Gadis itu yakin pembaca pun tau, tiap bulan Ramadhan, penerima zakat jumlahnya hampir selalu sama, bahkan bertambah. Jika berkurang pun karena orang yang berhak mendapat zakat tersebut wafat. Tiiiaaap tahun selalu orang-orang itu saja. Lalu bagaimana jika metode ini dipakai agar jumlah orang yg berhak mendapatkan zakat berkurang bukan karena kematian tapi karena dia sudah tak berhak lagi mendapat zakat, atau dengan kata lain dia sudah sukses. Yah, cara itu sederhana. Caranya yaitu dengan mengumpulkan zakat itu dan memberikan pada satu dua orang saja untuk modal usaha si penerima, dan tahun berikutnya di berikan kepada yang lainnya. Begitu seterusnya hingga tidak ada lagi yang berhak mendapat zakat karena semua orang didesa itu sukses. Maka, zakat bisa didonasikan kedesa lain yg membutuhkan. Nah, metode yang menjanjikan bukan. Ini memang masih wacana, dan bisa saja diterapkan untuk mengangkat taraf hidup penduduk desa. Namun, tentu kita tidak bisa mengabaikan, mengapa si miskin menerima zakat tiap tahunnya. Yah, misalkan saja disuatu daerah ada sepuluh penerima zakat. Lalu suatu kali zakat diberikan kepada salah satu dari mereka. Mungkin satu orang itu bisa sukses, namun bagaimana kesembilan orang yg lain. Apakah ia mampu bertahan melewati tahun2 sebelum ia mendapatkan jatah zakatnya? Apakah yang medapatkan porsi zakat benar-benar bisa berhasil denga jaminan? Masih pula teringat oleh salah satu ranting otak gadis iti ketika suatu pagi, teman sebelah kamarnya selepas membaca koran dia berkata bahwa harga bensin telah naik setelah beberapa hari sebelumnya wacana tentang kenaikannya menyulut kegalauan mahasiswa, kaum papa, rakyat jelata hingga bocah balita. Akhirnya fenomena antrian panjang di pom bensin yang berlangsung beberapa hari, berakhir. Apa kaitannya dengan zakat yang diingat gadis itu hingga penjelasannya panjang dan lebar hingga meluas kemana2?  Simpel saja. Dengan pencabutan subsidi BBM yang gadis itu dengar bahwa “ rakyat miskin” akan di beri bantuan langsung atau BLSM dan bantuan-bantuan lain yang katanya akan lebih tepat sasaran. Gadis itu tak ingin lagi membicarakan tentang pro kontra kenaikan BBM. Masing-masing punya pendapatnya sendiri karena mereka melihat dari sudut pandang mereka masing-masing. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah bantuan itu cukup? Apakah bantuan itu tepat sasaran? Apakah bantuan yang tujuannya akan menjadi modal itu benar-benar bisa mengangkat taraf hidup orang miskin? Gadis itu hanya ingin membuka ingatan pembaca bahwa BLT yang dulu pernah digelontorkan tak terdengar kabarnya bahwa dana itu berhasil mengangkat taraf hidup si miskin. Malah dampaknya rakyat seperti dimanjakan. Yang lebih menyedihkan lagi, sifat konsumtif masyarakat menjadi lebih tinggi karena uang yang diterima. Rakyat penerima BLT sepertinya sulit untuk berfikir tentang usaha untuk menjadikan dana itu sebagai modal. Yah, bahkan ada yang nyletuk usil, dana segitu memang cukup untuk modal apa? Dagang jajanan? Saingan sudah banyak, yang bermodal lebih besar pun banyak. Meding langsung dibelikan kebutuhan pokok, dan dalam sekejap uang itu raib. Namun kebutuhan pokok belum terpeuhi karena harga yang melambung. Dalam pikiran gadis itu, dengan dicabutnya subsidi BBM maka sama halnya dengan kasus opsi zakat. Bukankah tidak semua rakyat miskin mendapat bantuan BLSM ini. Belum lagi persyaratan untuk mendapatkan bantuan ini. Misalnya syarat harus memiliki kartu Perlindungan Sosial untuk mendapatkan bantuan BLSM. Bagaimana mengurus kartu ini? Bukan lagi rahasia tentang bagaimana birokrasi negara ini. Mulai dari KK higga surat keterangan RW. Iya kalau semua punya KK. Kalau tidak, mereka harus mengurusnya. Iya kalau mereka punya RT dan RW. Bagaimana pemilik penghuni pemukiman kumuh yang tak dianggap keberadaannya? Padahal mereka pun harus membeli makanan yang memiliki dampak akibat kenaikan BBM. Jika dihitung, dampak kenaikan harga BBM itu lebih luas dari bantuan yang diberikan oleh pemerintah, empat ratus ribu berbanding dengan hampir 50% kenaikan BBM. Ah, gadis itu terlalu malas untuk menghitung harga-harga kebutuhan pokok yang melambung dan tarif angkutan umum yang turut naik hingga 50%, belum lagi tarif-tarif lain.             Dengar-dengar sih penerima kartu Perlindungan Sosial sebanyak 15,5 juta rumah tangga. Hems, rakyat miskin di Indonesia berapa ya? Bagaimana penyalurannya, dan perjalanan penyaluran bantuan ini pun masih misteri. Jika mandeg di salah satu pos pun tidak ada yang akan tahu. Semoga saja tidak.             Gadis itu tentu ingin yang terbaik untuk negaranya. Jika keputusan pemerintah sudah demikian, ia bisa apa. Ia hanya bisa mengingatkan dan kembali mengingatkan, menguak yang terlupakan akan sejarah, tentang sistem, tentang pelaksanaan, tentang kenyataan. Sistem tak perlu di kambing hitamkan. Memang, tidak ada yag sempurna di dunia ini jika datangnya dari manusia. Jika mereka yang berpendapat bahwa sistem Tuhan itu sudah ketiggalan jaman, mana sistem manusia yang mampu menyamai, atau mirip-mirip dikitlah denga sistemnya Tuhan yang memberikan kemakmuran kepada manusia? Hasilnya adalah kemelaratan, kekacauan, kemiskinan, dan kesengsaraan. Menakutkan. Anehnya itu masih saja di elu-elukan sebagai sistem yang terbaik. Tak bisakah membaca sejarah? Ah.. Gadis itu gemas rasanya pada negeri nya ini.Ia merindukan makmurnya kota Mekah ketika Rasulullah dan Khulafaur Rosyidin memimpin. Ketika pemimpin negri berkeliling untuk mengetahui kondisi rakyatnya. Ketika syariat Islam ditegakan pada masyarakat plural sekancah Jazirah Arab, bahkan merambah ke Eropa, Afrika dan Asia dengan penduduk Yahudi, Islam, kristen, pagan, penyembah berhala serta kabilah yang tak terbilang, tapi mereka hidup tentram, saling melindungi, saling berbagi dan itu bertahan hingga ratusan tahun, meluas pada belahan bumi lain. Ketika Raja Sriwijaya pun mengirimkan surat kepada Umar bin Abdul Aziz karena kemasyurannya, dan pengakuan atas sistem Islam yang memakmurkan rakyat hingga meminta utusan agar Umar bin Abdul Aziz mau mengirimkan utusan untuk mengajarkan Islam di negeri Sriwijaya. Cabang otak yang lain mencuat dan ia menunjukan pada suatu ingatan ketika mata kuliah sejarah. Seorang dosen sejarah mengatakan bahwa sejarah akan terulang, dan gadis iti percaya janji Allah pasti bahwa Islam akan mencapai kemenangan, entah bagaimanapun batu-batu itu mengahalangi langkahnya.  #Benarkan jika salah, dan jika ada Kebenaran itu datangnya dari Allah SWT..

Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Refleksi Secangkir Kopi

Pagi ini aku seperti diundang kembali untuk berhadapan dengan si mesin pintar. Ah, rasanya jari-jari ini sudah kaku, namun akhirnya ia menari juga mengikuti perintah sang majikan pengendali segala. Otak, sang tuan motorik. Kemudian kalimat itu tersusun dengan susah payah. Sempat terfikir bahwa aku lupa bagaimana caranya menulis. Jelas, sudah seperti bertahun-tahun lalu sejak terakhir kali aku menulis apa yang menjadi khayalanku. Bukan paper atau esai. Tapi karanganku belaka yang tersusun dalam sederetan cerita.  Beberapa menit kemudian aku akhirnya menyerah. Perut sudah meronta untuk diisi. Jam di pojok layar leptop menunjuk pukul 09.57. Sudah saatnya makan? Aku akhirnya beranjak juga, mengambil jaket merah kebanggaan mahasiswa pendidikan Geografi UNY dan jilbab langsung yang terlalu sering digunakan hingga warnanya pudar.
Nasi dan telor beserta segelas susu menjadi sarapan yang istimewa. Rasa syukur kembali bertabur. Aku bisa makan pagi ini. Coba jika tidak seperti tokoh-tokoh yang sering aku tulis. Ah, apa aku kejam?
Namun, belum lengkap rasanya jika aku kembali ke lantai dua, ke dalam singgasanaku jika tak ada yang menemani. Maka sebungkus kopi instans akhirnya mengisi sebuah gelas sedang. Bukan air panas, melainkan air dingin yang ditambah beberapa kotak es batu menjadi pilihan.
Aku kembali duduk terpekur didepan leptope. Berusaha merangkai kata lagi untuk menyelesaikan cerita yang baru setengah. Akhir cerita sudah aku dapat, tapi yang aku bingung adalah bagaimana menuliskannya. Jangan-jangan aku lupa untuk menulis ending cerita?
Aku memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di dalam program komputer, merapikan file-file yang berantakan karena agenda KKN beberapa minggu yang lalu.
Pointerku akhirnya mengambil keputusan dengan memainkan sebuah musik yang baru aku tau keberadaannya. Owl City. Api tidak akan aku bahas, jadi di skip saja. Yang pasti bisa kau bayangkan sekarang ini kamarku tengah dipenuhi suara musik elektrik dari band  Amerika. Oh, itu diluar kebiasaanku memang. Tapi sesekali mencoba hal baru tak apa kupikir.
Aku menenggak kopi buatanku. Ternyata terasa pahitnya. Airnya terlalu banyak, atau mungkin es yang telah mencair mempengaruhi volume air yang seharusnya untuk takaran sebungkus kopi instans. Tapi aku masih merasakan manis disana. Meski samar. Akhirnya aku meninggalkan ceritaku yang baru setengah jadi dan membuka lembar baru. Kertas kosong yang akhirnya tertulis deskripsi apa yang terjadi pagi ini. Tentang sebungkus kopi yang terlalu banyak dituangkan air. Ah, tidak, tentang manis diantara rasa pahit kopi.
Aku membayangkan tentang kehidupan yang mungkin ada disekitarku, ah tidak. Simpelnya tentang apa yang aku alami. Kehidupan yang tak selamanya manis seperti gula yang membuatku tersenyum atau bahkan tertawa, atau mengucap syukur. Namun tak selamanya pula air mata yang berderai atau pahitnya kehidupan akibat berbagai macam hal. Bahkan oleh perasaan sendiri yang sebenarnya secara nyata tidak terjadi. Hanya prasangka, atau perasaan saja.
Keduanya saling berputar seperti roda yang salah satu sisinya akan ada diatas suatu kali namun suatu kali nanti ia akan berada di bawah.
Manis dan pahit. Aku jadi terfikir pada simbol Cina. Yin dan Yang. Baik dan buruk. Atau terbalik? Tak apalah. Namun aku lebih senang menyamakannya dengan surga dan neraka. Ah, terlalu jauh kah? Baik lah, mungkin dengan kata air mata dan tawa. Padahal tak semua yang pahit itu air mata kan? Berarti tidak cocok. Aku mulai kesulitan mencari perumpamaan. Ada yang bisa membantu?
Kalau begitu diskip saja perumpamaannya. Pokoknya manis dan pahit. Namun bagaimana jika keduanya menjadi satu dan terasa bersamaan pada lidah yang sama pada waktu yang sama? Jika asin dan tawar bertemu akan menjadi payau, namun jika pahit dan manis bertemu? Mungkin yang menang adalah yang lebih banyak kadarnya. Namun bagaimana jika keduanya bertemu dengan masing-masing identitasnya. Pahit ya pahit, manis ya manis.
Aku teguk kembali kopiku, sedikit mencari alasan bagaimana itu bisa terjadi dan mengapa bisa?
Berfikir sejenak aku jadi teringat suatu hal. Kadang ketika kita berada dalam suatu masalah atau kesulitan, akan ada rasa manis disana. Mungkin nikmatnya perjuangan, nikmatnya bekerja sama dengan teman-teman. Nikmatnya menagis bersama mungkin. Yang tidak akan terasa manis jika kita tidak berada dalam keadaan pahit. Aku meneguknya kembali dan memikirkan hal lain. Aku akhirnya menemukan judul untuk tulisan ini. Tapi aku rasa kurang komersial, jadi nanti akan aku ganti saja.
Aku menegak kopiku lagi untuk yang kesekian. Aku masih merasakan pahit didalam lidahku, dan entah mengapa tidak dengan rasa yang manis. Apakah karena kita terbiasa mengingat-ingat hal yang pahit dan melupakan hal-hal yang manis, hingga suatu kali ketika kita tertimpa kesialan kita akan mengatakan, “Kenapa hidupku selalu malang begini.” Padahal banyak kejadian menyenangkan lain yang membuat kita tertawa. Apa karena ketika menangis kita mengeluarkan air mata dan akan membekas di sapu tangan kita, sedangkan ketika tertawa apa yang tertinggal? Sejam kemudian kita mungkin lupa karena tidak ada kenang-kenangan nyata yang tertinggal.
Aku sudah menulis banyak tanpa makna. Aku menenggak kopiku untuk kesekian kali. Aku mencoba tidak merasainya. Aku mencoba melumpuhkan lidahku hingga ia tak merasakan apa-apa. Kopi itu lewat saja masuk ketenggorokanku seperti aku tak pernah menenggak kopi sebelumnya. Hanya air putih dan tak meninggalkan rasa.
Mungkinkah kita pernah suatu kali, mungkin suatu kejadian yang luar biasa yang dapat membuat kita tertawa bahagia, namun kita mencegah diri. Kita menarik diri untuk merasakan lebih. Mungkin karena takut akan rasanya yang pahit. Padahal belum tentu. Mungkin rasa yang tertinggal nanti adalah rasa yang manis. Hingga akhirnya kejadian itu terlewat begitu saja. Tanpa ada manfaat apapun yang dapat kita ambil, padahal jelas-jelas ia telah melewati kita. Mungkin saja.
Satu teguk terakhir, dan kemudian aku akan beranjak bersiap-siap berangkat kuliah. Ternyata manisnya mengendap di bawah. Sedari tadi yang aku rasakan adalah pahit dan pahit. Yah, mungkin massa gula lebih berat daripada massa kopi. Entahlah, namun pernah tidak terfikir olehmu bahwa kejadian memilukan yang terjadi secara bertubi-tubi, atau ujian yang sering kali membuat terluka dan menangis, atau kehilangan suatu hari nanti akan berbuah manis. Kebahagiaan yang tiada akhir.
Aku sampaikan suatu rahasia. Aku percaya akan hal itu. Suatu hari nanti, apa yang kita upayakan, apa yang kita usahakan, akan menghasilkan buah yang manis. Mungkin tidak di dunia yang hanya sejenak, namun di akherat nanti. Allah menyiapkan JannahNya untu hamba yang senantiasa bersabar menghadapi pahitnya hidup. InsyaAllah..
Ayo kuliah..........
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Wednesday 24 April 2013

Bukan Masa Galileo


Jika ada yang nanyain, siapa bapak “Astronomi modern dunia”, kemungkinan besar otak kita langsung mengarah pada satu nama, yang mungkin telah tertanam bertahun-tahun lalu ketika kita duduk di bangku SMA, atau mungkin SMP. Nama itu, tidak lain dan tidak bukan, adalah Mujiku Hibiniu. Ups, bukan ding. Yang bener itu, Galileo Galilei.
Memang ngga dipungkiri lagi, meski ia telah meninggal ratusan tahun lalu, berkat penemuannya ia dikenal hingga saat ini. Salah satu jasanya yang bisa dinikmati oleh umat manusia sekarang ini adalah tentang temuannya yang fenomenal, yaitu menyempurnakan teleskop. Bahkan menurut Stephen Hawkin, Galileo juga sebagai bapak “Fisika Modern” dan “Bapak Sains”.
Luar biasa kan jasanya. Yah, paling tidak, berkat temuannya itu, umat manusia mampu mengetahui fenomena di antariksa dengan lebih baik daripada sebelumnya. Tapi sayangnya, dimasa ia hidup, ia tidak mendapatkan penghargaan yang selayaknya. Berkat kesukaannya tentang astronomi, ia mengalami masalah. Ia dipenjara oleh gereja Italia masa itu karena sejalan dengan pemikiran Copernicus, yaitu mempercayai bahwa matahari lah pusat tata surya, bukan Bumi seperti yang diyakini gereja saat itu. Nah, karena pemikirannya itulah, yang dianggap bid’ah dan meracuni pemikiran masyarakat, dia dipenjarakan, dikucilkan dari kehidupan luar. Hingga akhirnya ia meninggal dunia.
Gereja Italia, dengan kekuasaanya mampu menyeret seorang ilmuwan yang menemukan suatu karya yang terbilang luar biasa ke dalam meja pengadilan. Bahkan membentuk stigma masyarakat bahwa Galileo memang bersalah. Ia layak di hukum. Padahal kala itu, Gereja Italia memiliki ketakutan tersendiri, bahwa masyarakat tidak lagi mempercayai gereja, oleh karena itu, pada zaman itu sains di batasi.
Tentu saat ini kehidupan kita jauh berbeda dengan masa Galileo hidup. Kehidupan kita lebih bebas, dan lebih terjamin. Hukum ditegakan dengan terbuka. Sains bebas berkembang, penelitian-penelitian bahkan di danai oleh pemerintah. Tentu pengekangan, dan layaknya yang terjadi pada Galileo seharusnya tidak terjadi lagi. Apakah demikian yang terjadi?
Nyatanya, kini kehidupan pada masa Galileo tengah terjadi. Bahkan lebih sadis dan menakutkan. Pemikiran-pemikiran sering terancam eksistensinya. Memang, tidak langsung menghukum secara langsung orang yang hendak menguak kebenaran, seperti Galileo yang langsung dihukum oleh gereja. Saat ini “hukuman” itu lebih mengerikan. Lebih menyiksa karena itu terjadi perlahan. “Mereka” menggunakan media untuk menyebarluaskan isu kepada masyarakat sehingga masyarakat sendiri lah yang menjadi hakim. Tentu atas dasar kehendak “mereka”. “Mereka” adalah pelaku utama dan pengendali yanng handal.
Cukup dengan mencuatkan satu isu saja, maka selanjutnya, boooooommm!!! Seperti efek domino, kekacauan akan terjadi dan target utama akan mudah untuk dilumpuhkan. Masyarakat akan mengelu-elukan agar “target” itu di penjara, diadili, bahkan di hukum mati, bahkan tanpa tahu kebenaran yang mutlak. Itu mudah bagi “mereka”.
Ya, media memang telah menggiring masyarakat menuju sebuah opini sesuai apa yang mereka inginkan. Mudah saja, dewasa ini masyarakat sudah sangat tergantung dengan apa yang di beritakan media. Terlebih lagi masyarakat yang “bodoh” dan tidak perduli akan kebenaran yang sejati.
Rasa-rasanya bukan hal baru lagi ketika mereka (media) menyiarkan berita secara berlebihan. Sejumlah media memberitakan berita yang sama, dalam waktu yang sama, dan yang sama layaknya tidak ada berita lain yang lebih penting dan lebih pantas untuk diberitakan. Pantas saja, berita yang seharusnya menjadi wacana bersama, namun akhirnya tenggelam entah kemana.
Pernah saya mendengar sebuah slogan berita di televisi yang menyatakan “Mengabarkan berita secara berimbang”, akhirnya saya hanya tersenyum geli. Mereka tidak lebih dari sekelompok taipan yang menjalankan bisnis informasi. Bagaimana sebuah informasi yang menjadi bisnis bisa di pertanggungjawabkan kevalidannya? Belum lagi dengan embel-embel yang lain. Kebencian terhadap suatu hal juga dapat meyebabkan penyampaian berita menjadi tidak berimbang.

Menyingung tentang hal ini, sebuah artikel yang baru beberapa saat lalu saya baca, judulnya “Pakar Media AS: "Jangan Ada Lagi Pelajar Muslim Di AS"” cukup menyita perhatian. Ternyata pakar media tersebut adalah pakar media dari Fox News yang sering menyiarkan berita bohong atau berat sebelah. Pantas saja, media itu menjadi media yang sering memberitakan Islam dengan sangat buruk, mulai dari kasus perang Irak, hingga serangan 9/11 karena di gawangi oleh orang yang benci terhadap Islam. Apakah kode etik jurnalistik membolehkan itu? Meski bukan orang dunia jurnalistik, saya yakin jawabannya adalah tidak.

Bukan tidak mungkin kalau berita Bom Boston juga mengandung konspirasi, dan manusia-manusia di belakang  mereka adalah dalang penebar kebencian. Nampaknya kasus-kasus lokal yang terjadi di Indonesia tidak perlu di bahas lagi. Kejelasannya sudah sangat jelas. Media menjadi senjata handal guna membelokan dan mempelintirkan kenyataan dan kebenaran. Pembaca sekalian pasti sudah memahami apa yang saya maksud.

Akhirnya, bukan hendak menyebarkan virus ketidak percayaan pada media, karena memang tidak semua media tidak dapat dipercaya, namun pintar-pintarlah menjadi masyarakat. Jangan sampai mempercayai media seperti mempercayai ibumu, dan merasa nyaman-nyaman saja ketika mereka memberikan “makanan” pada kita.

Salam

Mujiku Hibiniu



Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Friday 12 April 2013

Kita Bukan Sepeda


Udara pagi menyambut segenap penghuni bumi. Matahari tak ketinggalan memberi pelukan hangat kepada setiap yang dijumpainya. Meski sebagian besar dari mereka tidak perduli. Sibuk, kesibukan mereka memadati jalanan, serta antrian dibeberapa perempatan,  klakson-klakson bersahutan, serta kegelisahan karena roda tak juga dapat segera berjalan, dan jarum jam yang melaju tak kenal pemberhentian. Pagi ini menjadi pagi yang super sibuk.
Disalah satu sudut pusat kota, sebuah sepeda melaju dengan perlahan, tak mengidahkan kesibukan jalanan. Pengendaranya lebih memilih bermesra ria dengan sinar matahari pagi. Bahkan ia pun tak mengidahkan beberapa klakson yang tertuju padanya. Bukan tak mengidahkan sebenarnya, namun ia telah berada pada jalur yang benar, jalur untuk para pesepeda. Ya, pengklakson itu pun pasti sudah tahu tentang hal itu. Hanya saja mungkin mereka ingin agar si pengendara sepeda berjalan lebih cepat dan cepat lagi.
Bukankah sepeda hanyalah sepeda. Hingga berkali-kali di klakson sekalipun ia tetap sebuah sepeda yang berjalan jika pengendaranya mengayuh pedalnya. Seberapa sih kekuatan si pengayuh? Tidak akan mampu menyamai kecepatan mobil. Apalagi jika jalan yang dilalui menanjak. 10 km/jam mungkin jadi kecepatan maksimal.
Ya, seberapa kalipun mobil itu menekan klakson, beratus-ratus kali, sepeda tetaplah sepeda. Kecepatannya tak akan melampau motor, atau bahkan mobil, apalagi berharap seperti pembalap di circuit. Itu hanya harapan kosong.
Namun, bukankah kita bukan sepeda?
Klakson, layaknya seruan Allah kepada kita, umatnya yang sering lalai dan alpa. Allah telah mengutus Rasulullah untuk menyampaikan ketauhidan, dan kebenaran tunggal. Tidak ada keraguan lagi padanya. Tentu Beliau pun telah menyampaikan syaria-syariat yang telah ditetapkan oleh Allah untuk umat manusia, tanpa terkecuali.
Sekarang sering sekali muncul pertanyaan, Rasulullah telah meninggalkan umat manusia bertahun-tahun lalu, apakah yang mampu kita jadikan pedoman daripadanya, sedang kita tak lagi dapat menemuinya?
Bukankah semua aturan tentang kehidupan telah ada dalam Al Qur’an dan hadist. Meski Al Qur’an diturunkan 14 abad yang lalu, namun keberlakuannya hingga akhir jaman. Begitupun hadist-hadist Rasulullah. Tidak ada yang namanya kuno atau tidak sesuai tuntutan jaman. Al Qur’an itu selalu up date. Selalu tau tentang apa yang akan di hadapi manusia pada setiap jamannya, dan kisah-kisah umat manusia terdahulu yang dicantumkan dalam Al Qur’an sekiranya dapat menjadi pelajaran berharga untuk umat manusia.
Mungkin berkata tentang seruan yang ada di dalam Al Qur’an dan Hadist terasa berat. Ah, membaca saja tak pernah. Al Qur’an yang di beli dengan mencari kualitas terbaik sering hanya tersusun rapi di rak-rak buku, tanpa tersentuh. Namun bukankah hamba-hamba Allah, jundi-jundi Allah, dengan berbagai sarana yang menurut kita lebih “up to date” telah menyampaikan padamu. Telah disampaikannya berita bahagia tentang surga, dan kedukaan yang tiada berakhir dari neraka.
Facebook, twitter,  yang mungkin kini tengah berada di hadapanmu, telah mereka jadikan ladang dakwah, yang tiap kali dapat kita jumpai padanya status, catatan, ataupun hanya sekedar komentar tentang seruan-seruan kebaikan. Seminar-seminar ilmu, kajian-kajian, serta forum-forum keislaman telah mereka selenggarakan, untuk mengajakmu mendalami Islam, mengkaji ilmu Allah. Itu dengan sangat mudah kita temui pada sekitar.
 Ya, klakson itu adalah seruan dakwah pada kita agar kita cepat memperbaiki diri, cepat move on dari ketidaktahuan menjadi ingin tahu pada segala hal ilmu Allah di muka bumi, akankah di abaikan begitu saja? Lagi-lagi haruskah saya katakan bahwa kita bukanlah sepeda. Kita adalah manusia yang di karuniai kekuatan dan akal yang mampu berfikir (jika mau). Maka sudah sepantasnya kita menyambut seruan itu.  Tidak hanya mendengarkan layaknya sepeda.
Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah maka dia tidak akan melepaskan diri dari adzab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata’.” (Al-Ahqaf:32)

Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Wednesday 27 March 2013

Ia yang Aku Sebut Mama


Rindu...
Hanya mampu aku titipkan pada rinai hujanMu, duhai Dzat yang Memiliki jiwa raga ini
Ketika berpulang nampak seperti mimpi.
Menanggalkan asa yang menggebu pada tumpu yang semakin kelu,
Apakah kau sudah makan pagi ini?
Mengganjal perutmu dengan sesuap nasi yang sering terlupa karena sibukmu.
Apakah asam uratmu sudah membaik?
Hingga tak perlu lagi kau meringis dalam sujudmu.
Hingga tak perlu lagi obat-obat itu,
Apakah kau mampu tertawa seperti aku yang tertawa terbahak?
Sedang engkau sibuk memikirkan anak-anakmu,
Dan aku, tak akan pernah mampu mengganti setiap tetes keringat yang keluar dari pori-pori kulitmu yang berkeriput,
mata yang nanar karena terik matahari di sawah yang gersang,
kaki yang hampir lumpuh,
Tangan kasar tergerus beling-beling tajam,
Menepiskan segala hasrat dunia,
Meninggalkan kesenangan raga,
Hanya untuk anak yang kau jaga 9 bulan dalam rahimmu,
Yang kau timang dalam buaianmu,
Tapi sering berkata ah, dan mungkin tidak,
Padahal telah kau beri segala.
Telah kau penuhi jiwanya dengan kasihmu,
Telah kau penuhi raganya dengan keringatmu,
Telah kau berikan nyawanya dengan taruhan nyawamu,
Ah, lagi-lagi aku hanya mampu berdoa padaMu, Dzat yang merajai dunia.
Do’a rapi yang kuselipkan pada jemari-jemari yang mengadah meminta,
Semoga ia sampai,
pada perempuan tua yang masih bersikukuh melawan usia,
pada wanita perkasa yang berkali-kali menampar kejamnya dunia,
pada perempuan biasa yang kerap berurai air mata,
yang sedari kecil aku sebut ia, Mama.
Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Kumpulan status FB yang Masih Terdeteksi


14 Desember 2012
Dulu, jaman doeloe. sekali...orang selalu berfikir dua sampe puluhan kali buat cerita alias curhat tentang masalahnya kepada orang lain. Alasan gengsi sampe alasan ngga syar'i, Meski masalahnya itu amat sanagat berat sekali. Tak heran banyak yang bermunajahat kepada Sang Khaliq. 
Kalo jaman sekarang? keren euy...cuma blanja dipasar aja langsung curhat sama HPnya, lepinya, BBnya, dan iPodnya. Tadinya sih pengen nglegain pikiran. Tapi ternyata jadi banyak yang nanggepin. Terus keterusan deh.. Sampe2 lupa akan batas tentang apa yang boleh di ketahui khalayak sama yang seharusnya dipendam sendiri (kaya aku ini nih). Dan lebih parahnya, munahajat kepada Allah beralih ke munajahat ke dinding FB hanya dengan pancingan tulisan: apa yang anda pikirkan?
Padahal Allah menjanjikan penyelesaian.
*Semoga saya segera sadar.. -.-
14 Januari 2013
Kenapa Allah susah-susah menciptakan besi dan menyediakannya di bumi?
Padahal besi sendiri tidak dapat terbentuk di bumi. Memang besi tak seberharga emas. Tapi coba pikirkan ketika besi tak dikirimkan oleh Allah dari ruang angkasa sana. Ya, besi hanya bisa terbentuk dari benda angkasa yang memiliki bintang minimal 5kali lipat besarnya dari matahari.

Jika besi di bumi sebanyak ini, bayangkan dahsyatnya tabrakan yang dulu pernah terjadi.
Wallahu alam.
#Refleksi QS. Al Hadid...
11 Maret 2013
Lebih seneng ngomong sama kertas dari pada sama orang. Karena kertas itu menerima apa saja yang saya bicarakan, tanpa mengeluh apakah saya ngomongnya kepanjangan, belepotan, atau bahkan OOT. Lebih suka ngomong sama kertas daripada sama manusia karena kertas itu tanpa prasangka, amarah, apalagi prasangka. Apalagi dia mudah sekali memaafkan. Sekali di hapus, tiada berbekas. Leboh suka ngomong sama kertas dari pada sama manusia, karena kertas tidak akan membuat kecewa, karena dia tidak menghakimi dan tidak ingkar, tidak berbohong pada kemurniannya, atau munafik akan apa yang ada pada dirinya. Putih ya putih, bercoret-coret ya bercoret-coret.

#Dapatkah menjadi kertas dengan hati yang selalu bergejolak, dan otak yang selalu mengelak?.
11 Maret 2013
Jadilah pemilik status yang berguna, bermanfaat, dan bermartabat. Dari seribu satu penulis status, lebih dari 50% statusnya tentang kegalauan hidup, 25% tentang aktivitas kesehariannya. Sudah macam reality show buat artis-artis itu. Mungkin berlagak seperti artis. 15% Adalah tentang kalimat-kalimat penuh hikmah yang di copas dari negara antah berantah, atau benar-benar habis baca buku dan nemu kata yang menginspirasi, dan sisanya adalah seperti status ini. Tidak jelas juntrungnya. Tidak jelas maksudnya. Tidak jelas tujuannya. Tentu data ini tidak akurat. Jauh dari kevalidan. Saya juga hanya mengira-ira. Karena teman saya tidak ada 1001, hanya 801 dan lebih dari 75% darinya tidak saya kenal, tidak perduli dengan kehidupan saya apalagi status saya, dan saya pun sama tidak perdulinya. Tapi, ketika ada status yang setidaknya menginspirasi, memotivasi dan syukurnya adalah memberi hidayah, kenapa tidak melakukannya. Pahala akan mengalir, padahal kita hanya copas status dunia antah berantah. Dari pada sekedar pasang statu ala artis, biar semua tau aktivitas kita? Buat apa? Agar semua tau apa yang kita rasakan? Jangan- jangan malah di manipulasi setan. Apalagi kalo ketemu sama orang kepo. Bisa saja jadi fitnah yang mengada- ada. Ada banyak celah menuju kebaikan, sebaliknya ada banyak jurang menuju kesalahan, hanya dengan status yang anda tulis. 
Apakah status ini jatuh ke jurang keburukan? Harapannya tidak.
Sabtu, 16 Maret 2013
Yang terbaik belum tentu menang dan yang bekerja keras belum tentu mendapatkan lebih. Tapi itu bukan hal yang seharusnya menghalangi kaki untuk melangkah tanpa lelah, tangan untuk bekerja keras, mulut untuk berbicara benar, otak untuk berfikir jernih dan bhati untuk merasai kasih sayang.
Semangat hari Sabtu...!
Senin, 25 Maret 2013
Kenapa ada sekat-sekat bernama organisasi jika sebenarnya Rasulullah adalah Rahmatan Lin Alamin?
Selasa, 26 Maret 2013
Aku memiliki bagianku dan kalian memiliki bagian kalian. Biar kita berjalan pada alur yang berbeda namun akhir tujuan kita adalah sama.
Rabu, 27 Maret 2013
1.      Kalo tawaf, kita berputar pada arah yang sama, kalo sholat kita menghadap pada kiblat yang sama, tapi kalo soal kekuasaan, politik, kenapa saling beda haluan? Beda prinsip? Prinsip yang mana? Bukankah prinsip kita al Qur'an dan hadist? Beda ideologi? Bukankah Ideologi kita Al Qur'an dan hadist? Apanya yang beda?
2.      Kaum generalis jg perlu. Tp kaum spesialis jgn dilupakan. Lihat media, misalnya. Islam dihajar terus. Tp media Islam ke mana? Sudah jumlahnya sedikit, yg ada pun kualitasnya memprihatinkan. Wartawannya gak ok, redaktur payah, desain seadanya dll. Kalau begitu kondisinya, kapan kita mau meruntuhkan dominasi TIME, CNN dan semacamnya? 
http://chirpstory.com/li/63463

#Jangan terpekur saja dengan perbedaan yang jika di bahas akan semakin membesar dan membesar. Jangan terpekur saja dengan golongan-golongan yang katanya beda faham. Sudah saatnya bangun. "Mereka" sudah siap perang, dengan misi teramat rapi, namun kita masih tertidur pulas dengan mimpi-mimpi surga padahal mempelajari Al Qur'an pun enggan. Kita beda, ya. Bukan berarti harus membeda-bedakan. Kita beda cara, ya. Bukan berarti saling mencela. Kita beda jalur, ya, dan ingat, tujuan kita satu.


Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Saturday 16 March 2013

Bukan Dongeng Bawang Merah dan Bawang Putih



Beberapa hari ini melihat bawang menjadi headline koran langganan asrama membuatku berfikir tentang bumbu masak yang satu ini. Hems, biasanya mana pernah. Meski ia (si Bawang Putih) sering sekali menjadi materi yang memanjakan lidah bersama bumbu-bumbu yang lain, tak pernah terbayangkan bahwa dia mampu membuat kekisruhan yang layak di jadikan headline sebuah koran nasional. Dua kali pula. Wah, sungguh. Mungkin ini belum berakhir. Bisa saja hari-hari berikutnya ia masih akan menjadi headline.
Tentu masalah utamanya bukan karena si bawang putih korupsi, ataupun ikut-ikutan berpolitik, nyalon jadi Cagub. Apalagi ikut-ikutan kasta kekuasaan. Ah, tentu juga bukan karena Si Bawang Putih melakukan kejahatan kemanusiaan. Eh, tapi mungkin saja iya. Tapi jelas bukan si Bawang Putih pelakunya. Dia hanya sebagai objek. Mungkin juga di oplos menjadi kambing hitam. Ngeri sekali. Si bawang putih yang seputih susu berubah menjadi kambing hitam yang segala rupanya hitam. Oplosan pula.
Masalah utamanya adalah karena harga Si putih ini melambung tinggi. Setelah sebelumnya di pusingkan dengan mahalnya harga daging, ternyata Si bawang ini tidak mau ketinggalan juga. Mungkin dia ingin kenaikan derajatnya sekelas daging biar lebih di perhatikan. Pasalnya, selama ini siapa yang memperhatikan bawang putih? Coba hitung saja, berapa siung bawang putih yang ibumu pakai untuk masak sayur dan bumbu lain setiap harinya. Tidak ada satu kilo. Ah, paling lima-enam siung. Pasti kalah dari penggunaan cabai ataupun bawang merah. Tapi kenapa ia mampu menjadi headline?
Saya jelas tidak tau, dan tidak akan membahas kebijakan koran akan hal ini. Tapi setidaknya saya tau, karena saking tidak di perhatikannnya, di Indonesia, bawang putih dalam negeri hanya mampu memenuhi 5% kebutuhan pasar. Wah, sediki sekali. Jelas saja. Karena bawang putih tidak terlalu di perhatikan petani sehingga petani enggan menanamnya. Petani lebih senang menanam bawang merah yang perawatannya dianggap lebih mudah.
Tak heran pemerintah membolehkan import untuk memenuhi kebutuhan pasar nasional. Yang menjadi masalah saat ini adalah ketika pemerintah membatasi jumlah import bawang. Tidak hanya bawang putih si, tapi juga import barang yang lain. Tapi dampak yang kini terasa adalah bawang yang melambung tinggi. Bagi kita-kita mungkin kenaikan harga bawang ini tidak menjadi masalah yang besar. Toh, ngga pake bawang juga ngga apa-apa. Asalkan makanan di warung bu Ida harganya tetap sama. Kecuali jika harganya naik, baru itu menjadi masalah yang harus di pecahkan dengan segera karena sifatnya yang mendesak.
Tapi, buat ibu-ibu di Kebumen kenaikan bawang putih ini menjadi masalah. Si Bawang Putih memaksa mereka tidak menumis sayuran, atau mengolah makanan lain yang menggunakan bawang putih. Mereka lebih suka membeli makanan matang di warung-warung. Akhirnya, pengeluaran rumah tangga pun bertambah. Bagi beberapa penjual, kenaikan bawang harga bawang putih ini memaksa mereka untuk menutup toko, buntutnya mereka tidak ada pemasukan. Dan untuk petani bawang merah, kenaikan bawang putih yang diikuti kenaikan harga bawang merah mencekik leher mereka.
Apa pasalnya petani bawang merah di bawa-bawa? Jelas ini bukan karena cerita tentang bawang putih dan bawang merah dalam dongeng klasik. Sama sekali bukan. Ini adalah cerita murni tentang bumbu masak yang jika kita tanpanya pun masih bisa hidup. Petani bawang merah merasa kesulitan menanam bawang merah karena harga bibit naik akibat kenaikan harga bawang merah. Yang dalam hal ini keduanya searah sejalan. Tapi entahlah. Padahal kebijakan pembatasan bawang untuk melindungi produksi lokal.
Saya setuju dengan pembatasa barang import. Bahkan jika perlu contoh saja Cina dengan politik isolasinya. Toh, jika di garap dengan serius, kita mampu memenuhi kebutuhan kita sendiri. Apa sih yang tidak tumbuh di Indonesia? Apa sih yang tidak tertanam di bumi indonesia. Apa sih yang tidak bisa di lakukan anak-anak cerdas Indonesia. Yang tidak bisa dilakukan saat ini hanyalah memaksimalkan potensi yang di miliki.
Ah, ternyata di tengah-tengah kekisruhan yang tengah melanda ibu-ibu rumah tangga, meski dalam kapasitas yang tidak terlalu besar, ternyata ada saja yang nakal. Importir-importir bawang dengan sengaja menimbun Si putih menunggu harga puncak, dan mereka akhirnya akan meraih keuntungan tertinggi. Keren sekali, dan sayangnya ini berlarut-larut. Pantas saja Presiden kita tercinta kecewa dengan kinerja mentrinya, dan ibu-ibu rumah tangga kecewa dengan presidennya. Kasian sekali.
Semoga tidak ada isu politik, konspirasi apalagi pengalihan isu disini hingga masalah kenaikan bawang putih mengalahkan berita-berita yang lebih mengenaskan, lebih membunuh ibu-ibu rumah tangga. Semoga saja, ini hanya masalah waktu, sehingga ketika sudah waktunya nanti bawang  putih dan bawang merah kembali menempati posisinya sebagai bumbu masakan.

Share This:   FacebookTwitterGoogle+

Followers

About Me

My photo
Warna-warna yang selalu menghidupi kehidupan anda. Serba-serbinya, seluk beluknya. Bukan aku, tapi warna-warnaku dari refleksi tulisanku. Ayo menulis!!!

Popular Posts

Copyright © Tinta Kering | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com