Senja masih
seperti biasanya. Jingga masih benderang di ufuk Barat dan burung terbang
menuju sarang. Namun, bagi saya senja ini tidak seperti biasanya. Ada setangkup
kisah yang telah terencana.
Ada nuansa romatis
ketika saya menunggu ditepi jalan. Ada resah, gelisah, dan khawatir. Gelisah pertemuan
yang ditunggu tak sampai pada pelampiasannya. Gagal. Dua puluh menit menanti
membuat saya khawatir sesuatu yang diluar dugaan terjadi. Seperti rindu yang
bertemu, dua sosok yang menghampiri saya menjadi pelepas segala rasa. Umi Yuni,
pengasuh Pondok Rabingah Prawoto dan Mbak Rissa, senior saya sekaligus musrifah
di pondok. Namun, masih ada sesosok lagi yang masih berselimut banyak tanya.
Sebuah rumah
dengan pintu tertutup menjadi penyambut. Sejenak kemudian pintu terbuka, setelah
salam yang ketiga. Kami bertiga bernafas lega. Pertemuan akan menemukan
ujungnya.
Prof. Aliyah Rasyid
Baswedan. Saya mencium tangan beliau takzim. Memang Rencana Tuhan luar biasa.
Indah dan menakjubkan. Rencana kami hanya meminta testimoni namun RencanaNya
berkata lain. Lewat beliau, Ilmu MilikNya mengalir deras. Testimoni yang kami
rencanakan semenit dua menit, akhirnya berbuah kuliah singkat lebih dari
setengah jam. Kuliah kehidupan, kuliah untuk peradapan dimasa yang akan datang.
“Mahasiswa. Kedepan
akan mau apa? Ketika kita sudah punya banyak hal sekarang sebagai mahasiswa.
Harus kita rencanakan. Seseorang yang sudah punya rencana pasti akan lebih baik
daripada yang tidak punya rencana,” kata Bu Aliyah. Kami takzim memperhatikan.
“Bukan tentang
karir saja. Namun juga sampai kita meninggal kita mau bagaimana. Harus
dipikirkan dan dilakukan persiapannya. Ilmunya harus membawa kita sukses dunia
dan akherat.”
“Manfaatkan waktu
sebaik-baiknya, harus banyak membaca, harus banyak bergaul, harus
berorganisasi. Karena disana akan dihadapkan banyak sekali masalah. Masalah-masalah
itulah sebagai bekal tahap selanjutnya,” lanjut Bu Aliyah.
“Berikanlah kebermanfaatan untuk masyarakat. Berperanlah
untuk membuat baik orang, membuat baik organisasi, membuat baik lingkungan.”
Saya
terhenyak. Saya teringat banyak hal yang telah tangan dan kaki saya lakukan.
Namun, tidak banyak yang telah saya manfaatkan untuk memberikan manfaat.
Mungkin sudah terlalu banyak kesia-siaan yang saya lakukan.
Ya,
saya dibelai dan ditampar dalam waktu bersamaan. Dibelai oleh kenyataan saya
pernah di lingkungan terbaik dimana lulusannya diharapkan menjadi pemimpin
muslimah tangguh yang akan membangun peradaban. Ditampar, karena saya belum
bisa melakukan apa-apa.
Perbincangan
dengan beliau masih berlanjut. Namun pikiran saya telah terbelah. Biarlah, saya akan kembali mendengarkan apa
yang beliau sampaikan di asrama lewat file video yang saya rekam.
Ingin saya menjadi rakus dan berlama-lama disisi beliau. Menyerap
saripati ilmu yang beliau miliki. Namun Adzan magrib menjadi pertanda,
pengingat bagi saya. Saya harus lebih berusaha lagi mencari serpihan-serpihan
ilmuNya yang bertebaran. Ya, saya akan berusaha.
Romantisme Jogja
membersamai saya pulang. Senandung lagu Yogyakarta yang dinyanyikan band
ternama seperti mengiringi, terngiang begitu saja. Nostalgia. Suatu hari, saya
akan merindukan kota ini dengan segala romantisme dariNya.