Thursday 3 November 2016

Kubik-kubik Renungan 4 November 2016


            Rabu, 3 November 2016. Di jalanan depan sebuah kedai sederhana, deru kendaraan bermotor terdengar jelas. Jalanan seperti tak pernah lenggang oleh pengemudi. Mayoritas bergegas. Mendung telah lama menggelayut di langit, siap menerjunkan kubikal-kubikal tetes hujan.
            Benar saja, tak lama berselang, rintik hujan turun. Tak begitu deras, namun telah berhasil membuat sebagian pengendara berhenti, menepi. Beberapa ada yang mengambil jas hujan dan memakainnya, kemudian kembali melanjutkan perjalanan. Kemanapun mereka. Beberapa yang lain memilih menunggu. Mungkin mereka tidak membawa jas hujan, terlupa, atau malas memakainya. Tapi tak jarang yang terlihat menembus hujan begitu saja, membiarkan baju mereka basah. Padahal mungkin jarak tujuan mereka masih berkilo-kilo jauhnya.
            Saya memandang mereka. Mereka seumpama objek yang begitu menyenangkan. Memang tersebab sesuatu hal lain yang saya pikirkan. Namun melihat mereka membuat saya berfikir lebih dalam.
            Begitu banyak jawaban ketika saya melontarkan sebuah pertanyaan yang sama kepada beberapa orang di kontak media social saya. Latar belakang berbeda memang membentuk cara berfikir berbeda. Namun terkadang, sebuah jawaban yang tidak diduga terlontar dari mereka.
“Kita tidak bias mengeneralisir,” begitu kata seorang teman, dan itu memang benar adanya.
“Yang terlihat ungu, belum tentu mengeluarkan aroma ungu, yang pink pun belum tentu mengeluarkan aroma pink.”
Namun setidaknya jawaban mereka membuat saya puas. Tidak, bukan tersebab mereka memiliki paham yang sama dengan paham yang saya miliki. Jika demikian, mungkin terasa membosankan. Namun, banyak yang memiliki pandangan berbeda. Bagus. Setidaknya ada bahan yang bisa saya tulis disela hujan yang semakin mengguyur deras kota Yogyakarta.
Benar. Saya bertanya kepada mereka tentang aksi damai tanggal 4 November 2016 di Jakarta.
Seperti halnya ketika suatu pagi seorang bocah yang belum lagi tamat SD melontarkan pertanyaan sejenis kepada saya. Sebenarnya, ada rasa iri padanya. Ah, dia bisa bertanya demikian dengan bebasnya. Tidak ada penilaian, penghakiman, dan pendiktean. Dia bebas bertanya tanpa embel-embel apapun. Dia hanya bertanya untuk mendapatkan jawaban.
            Saya memandang beberapa pengendara di jalanan lagi. Mayoritas pengendara sudah menggunakan jas hujan. Berwarna-warni. Seperti warna-warni pendapat mereka terkait aksi 4 November.
           
“Heh, memang ada apa tanggal 4 November? Aku malah baru tahu dari kamu.”
       Apakah saya bertanya pada orang yang salah. Oh tidak, tidak. Saya bertanya pada orang yang benar. Saya bertanya pada kenalan saya yang orang Indonesia namun tengah bekerja di Singapura. Saya ingin tahu bagaimana pandangan dia tentang aksi tanggal 4 November. Mungkin dia punya pandangan berbeda, dan mungkin dia tahu bagaimana reaksi orang-orang di negara tersebut. Bisa orang Indonesia yang sedang disana, atau penduduk negara tersebut sendiri.
Redaksinya tidak seperti itu sih. Pakai bahasa ngapak. Tidak asik kan kalau ketahuan saya ngomong bahasa ngapak. Katanya nanti kadar cantiknya berkurang. *isshhh, apa sih?
     Jadi, memang beliau, si narasumber ini tidak tahu menahu tentang aksi 4 november 2016. Padahal aksi ini sedang heboh-hebohnya di media social. Apakah dia tidak membuka media social? Bukan. Dia bahkan tidak absen membuka media social yang didirikan tahun 2004. Masalahnya adalah ketika ia membuka akun media sosialnya tersebut tampilan muka media sosialnya adalah tampilan seminggu yang lalu. Selalu begitu. Kesalahan teknis media social tersebut atau? Entahlah.  Yang pasti akhirnya kami membahas hal yang lain, seperti bagaimana temannya bermain gitar dan bernyanyi. Temannya seorang pria dan penduduk asing. Mau dengar rekaman permainan gitarnya?

“Iman itu ada 77 cabang, dan tingkatan cabang iman yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan di jalan. Masa malah jadi gangguannya.”

Saya ingat sebuah kisah yang tersampaikan pada saya, ketika Rasulullah masih hidup. Ketika itu, beliau diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyebarkan Islam secara terang-terangan. Rasulullah dan para sahabat turun ke jalan-jalan. Menghalangi pejalan lain? Mengganggu ketertiban umum? Meresahkkan?
Ya, ya, ya. Mereka menghalangi pejalan lain. Yang semula hendak beraktifitas seperti biasa, aktifitasnya jadi terhenti. Yang tak tahu menahu hanya menonton, yang marah segera melapor ke pimpinan kaum kafir atau bahkan langsung menghalangi. Ah, ada juga yang melempari para sahabat dengan batu.
Ya. Mereka jelas mengganggu ketertiban umum. Karena kota Mekah yang tadinya anteng ayem, tiba-tiba ramai oleh teriakan takbir.
Ya. Mereka meresahkan. Mereka meresahkan kaum kafirin. Mereka kebakaran jenggot. Maka mereka mengumpulkan segenap pasukan untuk menghalangi Rasulullah dan para sahabat menuju Mekah.
Ya, saya akan menunggu berita sampah yang berhamburan, taman yang rusak, dan jalanan yang macet. Ya, seperti pada aksi-aksi sebelumnya. Selalu saja berita itu yang akhirnya keluar. Seperti memutar video yang sama setelah aksi yang berbeda. Saya penasaran, apakah tidak ada berita yang lain? Dari sudut pandang lain mungkin. Seperti papan reklame videotron yang di hack oleh peserta aksi dan tersiarlah adzan Asar.
“Lebay Jeng. Aku ngga suka malah nek kaum muslimin mau demo gitu. Ahok udah minta maaf.”
            Iya sih. Lebay juga memang. Mungkin selebay ekspresi wajah saya yang tidak puny ekspresi. Namun, sebenarnya lebay itu relative bukan.
            Mungkin bagi si A, suatu peristiwa 1 tidaklah penting, sehingga A mengabaikan. Namun mungkin bagi si B peristiwa 1 sangat penting sehingga reaksinya lebih dari yang seharusnya di anggap normal oleh si A. Bisa jadi peristiwa 2, bagi A adalah hal yang sangat mendesak sehingga ia harus menetukan sikap. Karena mungkin menyangkut prinsip bahkan kelangsungan hidupnya. Namun bagi si B, peristiwa 2 mungkin bukan apa-apa sehingga ia tidak menimbulkan reaksi sama sekali. Memang tergantung prinsip dan kepentingan masing-masing A dan si B.
            Hanya saja saya menyanyangkan ketika ada seseorang yang mengkafirkan sesama muslim karena tidak mengikuti aksi damai ini. Saya ingat pelajaran agama di SMA. Entah kenapa Allah mengijinkan saya mengingat materi ini, padahal materi-materi yang lain saya banyak yang lupa. Seseorang ketika mengkafirkan muslim yang lain kafir maka akan kembali padanya jika yang di vonis tidak demikian. Sayangnya, tentang riwayat ini saya lupa. *Plak!! Tapi insyaAllah shahih.
            Jika berbeda pendapat, boleh. Jika berbeda pandangan boleh. Ulama terdahulu pun demikian. Bahkan sahabat Rasulullah pun saling berbeda pendapat. Namun apa mereka saling mengkafirkan? Apa mereka saling menghujat, menghina, dan melecehkan?
            Mari kita kaji lagi jawabannya di sirah. Hukumnya di Al Qur’an. Jangan gegara penistaan agama dikemudian hari baru pada mencari tahu tentang ini yes.

Mmmm.. no coment.”
          Bukan satu dua yang menjawab serupa. Banyak.. banyakk. Saya tidak tahu pasti sebabnya. Namun sebagian dari mereka mengaku belum mempunyai kapasitas untuk memberikan pendapat. Ah, saya saluut dengan alasan ini. Bagaimana tidak, kalau saya mengintip-intip akun media social, betapa banyak komentar-komentar yang di tulis tanpa dasar ilmu, fakta dan logika. Mereka menulis atas pengetahuannya saja, namun pengetahuan yang belum tentu kebenarannya.
        Yang bikin gemes adalah, banyak dari mereka yang berkata bak ahli. Jumawa. Baik dari pihak yang pro, maupun pihak yang kontra. Tidak terima jika disalahkan, bahkan tidak jarang berkata kasar sambal membawa si musuhnya meong. Nah, kelihatan tidak pakai ilmu kan?
        Yah, jawaban ini menampar saya. Jika belum mempunyai kapsitas, lalu kenapa tidak mengejar kapasitas itu? Quota habis saja segera diisi, kenapa kapasitas keilmuan tridak? Heh! Bangun Ji! Bangun!

“Bagus sih, jika membela Islam. Tapi kalau kegiatannya berbau politik, saya kurang setuju.”

           Isu tentang politik memang tidak bisa terelakan. Ya, karena acara lima tahunan itu memang sudah di depan mata. Ini memang tidak bisa di benarkan ketika teman-teman saya yang sudah berniat sangat mulia, yang membela al Qur’an, membela Allah, dimanfaatkan begitu saja untuk kepentingan politik kotor. Ya, jika bukan politik kotor ya tidak apa-apa. Apalagi politik untuk kepentingan Allah.
           “Memang ada politik yang tidak kotor?”
           Ada. Seperti ketika kamu membujuk mamamu untuk membelikanmu hp baru dan mamamu mampu membelikannya. Itu politik, dan apakah itu kotor?

“Setuju. Penista agama harusnya di proses hukum. Ibu-ibu di Bali saja di hukum, masa ini engga. Kesannya ko yang berkuasa jadi kebal hukum ya? Tapi, saya dirumah saja ya. Ngga ikut kesana.”
Ya udah lah ya, dirumah saja. Mengajar anak-anak. Untuk investasi ke masa depan. Tanamkan baik-baik pada mereka, tentang iman, tentang perjuangan, tentang menghafal al Qur’an. Bukan hanya tahu salah satu ayat saja ketika ada yang menistakan. Mungkin suatu kali di masa depan aka ada hal yang lebih luar biasa, dan anak-anak kita lebih siap mengambil sikap karena telah lebih paham ilmu dan lebih paham hokum. Toh perempuan lebih utama di rumah. Apalagi yang sudah ibu-ibu.
“Tau sih. Tapi, aku ngga ngikutin beritanya ee. Ngga bisa koment.”
     Saya bisa memahami jawaban ini. Tidak seperti saya yang masih luntang lantung tak jelas kapan lulusnya, dan hanya bisa jadi penjaga kedai yang part time dan ngga jelas juga jam kerjanya, mereka jauh-jauh lebih sibuk.
     Dengan bebas saya bisa membaca artikel-artikel yang bertebaran dimana-mana. Seumpama berjuta-juta helai kertas yang dilemparkan dari atas gedung. Saya bebas memilih dan memilah tulisan mana yang hendak saya baca. Sesuka hati saya. Tidak perlu terburu-buru. Toh saya punya waktu luang yang teramat panjang.
     Namun kemudian pertanyaan menelisik saya ketika sebuah tulisan berbunyi, “Tidak ada orang yang sibuk, itu hanya soal prioritas.”
     Mungkin isu terhangat tentang pelecehan agama itu belum menjadi prioritas mereka. Mungkin nanti.
     Jangan tanya soal ngerjain skripsi! Out of konteks!
“Tidak ada yang salah dengan demo. Saya mendukung meski tidak ikut terlibat. Justru heran dengan yang menanggapi berlebihan. Mau ada demo kaya mau ada perang saja.”

            Saya jadi ingat ketika seorang teman yang sedang menonton video terkait sebab musabab dan prolog-prolog tercetusnya naskah panjang aksi 4 November beberapa hari yang lalu. Adegan saya dan dia seperti melihat video monokrom. Saya begitu datar, tanpa ekspresi. Sedangkan dia begitu heboh dan penuh emosi. Ketakutan-ketakutan akan adanya perang sesama muslim tercetus ketika ia mendengar sebuah kabar kalau organisasi si itu tidak mengijinkan anggotanya untuk ikut aksi. Bahkan menawarkan bantuan kepada polri untuk ikut menghalangi aksi (namun kemudian saya mnyangsikan sumber bacaan beliau).
            Memang merisaukan jika aksi tertanggal 4 November menjadi aksi yang brutal. Namun saya sangsi jika teman-teman saya yang berangkat, yang unyu-unyu itu akan bersikap brutal. Ah, saya tidak bias membayangkan ketika terhadap kecoak saja mereka jejeritan manja, apalagi menghadapi pasukan berseragam dan bertindak brutal. Kecuali jika ada oknum, mungkin. Penyusup? “Ah, lagi-lagi mode konspirasi.

“Menurut ulama ini di Arab sana, tidak boleh ada demo. Jika hendak menyampaikan sesuatu, utuslah beberapa diantara kalian.”

Ehm, btw, bukannya kamu biasanya anti wahabi ya? Itu ulama wahabi loh. Ko?
Kalo ini no coment deh.

Kamu, iya kamu. Punya pendapat lain? Jika iya, bolehlah engkau berbagi dengan saya yang fakir ilmu ini. Tidak, tidak dengan debat. Tapi kajian yang mendalam, jika perlu, mampirlah ke kedai sederhana tempat saya bernaung. Mungkin kita bisa membicarakan banyak hal seraya menyesap kopi dan menatap tetesan hujan yang membasuh jalanan.


Catatan : Banyak pendapat lain yang masuk ke meja penulis namun penulis tidak sampaikan ditulisan ini tersebab, sudah malam, ikan mau bobo dulu...


            

0 Apa Kata Mereka???:

Post a Comment

Followers

About Me

My photo
Warna-warna yang selalu menghidupi kehidupan anda. Serba-serbinya, seluk beluknya. Bukan aku, tapi warna-warnaku dari refleksi tulisanku. Ayo menulis!!!

Popular Posts

Copyright © Tinta Kering | Powered by Blogger
Design by Blog Oh! Blog | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com