Yogyakarta dan Solo memiliki sebuah cerita panjang di masa lalu. Dahulu,
Yogyakarta dan Solo merupakan satu kesatuan wilayah dibawah satu kerajaan,
yaitu kerajaan Mataram sebelum ditandatanganinya perjanjian Giyanti pada tahun
1755 Masehi. Meskipun kini Solo berada di wilayah propinsi Jawa Tengah, namun
Yogyakarta dan Solo memiliki banyak sekali kesamaan. Baik dalam bidang budaya
maupun bahasa.
Meskipun bukan dengan pertimbangan sejarah tersebut, pada tanggal 5
Maret 2017, FLP Yogyakarta berkunjung ke FLP Solo. Sebagai keluarga besar Forum
Lingkar Pena, FLP Yogyakarta ingin bersilaturahmi dengan FLP-FLP di seluruh
Indonesia. Kali ini keinginan itu terealisi.
Pukul 06.00 WIB saya sudah berada di stasiun kota Yogyakarta untuk
membeli tiket kereta api Pramek atau Prambanan Ekspres dengan jadwal
keberangkatan pukul 07.30. Namun sayang, tiket pramex pagi itu ludes terjual. Akhirnya
saya memutuskan untuk mengambil buah tangan yang akan kami bawa ke Solo dan kembali
lagi ke stasiun untuk membeli tiket untuk jadwal perjalanan selanjutnya. Saya
mendapat tiket untuk jadwal pukul 09.10. Belum sempat setengah jam dari pukul
07.00, tiket untuk jadwal pukul 09.10 tersebut pun ludes terjual. Beruntung,
saya sudah mengantongi sepuluh tiket. Akhir minggu arus perjalanan dari Yogya
ke Solo cukup tinggi.
Satu persatu teman-teman FLP Yogya datang ke stasiun. Namun karena
perjalanan masih dua jam lagi, kami memutuskan berjalan-jalan di sekitar
stasiun. Pilihan jatuh ke jalan Malioboro.
Apakah prolog saya kepanjangan?
Perjalanan dengan kereta menurut saya akan menyenangkan. Begitupun
perjalanan kali ini, satu jam terasa hanya beberapa menit saja. Buku yang saya
bawa dan saya niatkan untuk dibaca di kereta, akhirnya hanya terbuka tanpa bisa
terbaca karena kami asik bercerita.
Setelah sampai di stasiun Purwosari, kami langsung menuju loket pembelian
tiket. Kenapa? Baru saja sampai, kenapa harus sibuk dengan tiket untuk kembali?
Ya, kami harus membeli tiket kembali ke Yogya sebelum kehabisan.
Setelah kebingungan dan berdiskusi panjang, akhirnya kami
memutuskan berjalan kaki menuju sekertariat FLP Solo yang terletak di Laweyan
yang berjarak sekitar 1,2 km. Kami melewati trotoar yang cukup lebar dengan
kiri kami berupa taman, dan dibagian kanan adalah pertokoan dan hotel.
Setelah sampai di lokasi, kami disambut oleh Opik Oman. Bukan orang
yang kami temui, namun sebuah tulisan yang tertera di depan sebuah warung fried
chiken. Rupanya sekertariat FLP Solo terletak di sebelah rumah makan Opik
Oman yang merupakan milik ketua FLP Solo yaitu Opik Oman.
Sekertariat FLP Solo sendiri terletak di depan sebuah pondok pesantren,
dan kami diajak untuk . Dengan posisi melingkar, kami mulai acara silaturahmi, sharing
dan diskusi. Opik Oman selaku ketua FLP Solo mulai menceritakan tentang
keadaan FLP Solo. Pengurus FLP Solo hanya terdiri dari dua orang, Ketua dan
Sekertaris. Kemudian program kerja pun disusun oleh mereka berdua. Jika
dibandingkan dengan FLP Solo, struktur pengurus FLP Yogyakarta nampak begitu
gemuk.
Posisi kepengurusan tersebut telah diwariskan dari kepengurusan
sebelumnya, dan memang sesuai dengan kondisi FLP Solo.
FLP Solo memiliki acara rutin setiap minggu bernama Kemecer yang merupakan
akronim dari Kelas Menulis Cerita. Dalam acara Kemecer ini, anggota FLP Solo
akan menyetorkan karya mereka yang kemudian akan “dibantai” oleh Mas Opik Oman.
Saya lalu teringat agenda Klub FLP Yogyakarta yang acaranya pun hampir sejenis.
Setelah itu, giliran FLP Yogyakarta yang ditodong cerita. Maka saya
menceritakan sedikit tentang FLP Yogyakarta dan kegiatan-kegiatannya.
Setelah berbagi cerita tentang FLP di masing-masing wilayah, Mas
Opik Oman mulai bercerita tentang buku-buku beliau. Uniknya, buku beliau tidak
diterbitkan di penerbitan, namun diterbitkan oleh jasa fotocopyan yang
bisa kita temukan di banyak tempat. Buku kumpulan cerita dari FLP Solo pun
demikian.
Tidak hanya mudah, menerbitkan buku sendiri dengan cara ini hanya
membutuhkan modal yang sedikit. Jika penerbitkan buku di penerbitan
menghabiskan dana hingga ratusan ribu bahkan jutaan rupiah, untuk mendapat 10
buku terbit, jika dengan cara ini,
dengan dana 60 ribu, sudah dapat 10 buku cetak. Harga ini tentu
disesuaikan dengan banyaknya lembar naskah.
Mas Opik Oman juga memasarkan karyanya yang lebih dari sepuluh
judul ini dengan memanfaatkan media sosial terutama Facebook. Namun, buku
beliau juga dapat ditemukan diportal
jual beli online, Buka Lapak. Harga buku beliau sangat terjangkau yaitu sepuluh
ribu rupiah. Dengan harga yang demikian murah, nampaknya akan memperbesar
kemungkinan pembeli membeli buku beliau.
Open rekruitmen anggota FLP Solo berbeda sekali dengan Open
rekruitmen FLP Yogyakarta. FLP Solo cukup mengadakan seminar menulis dengan
biaya pendaftaran seratus ribu rupiah. Kemudian, peserta yang mengikuti acara
seminar ini bisa mengikuti kegiatan FLP Solo. Namun, dalam perjalanannya memang
tidak sebanyak yang mengikuti seminar. Jika yang mendaftar seminar ada enam puluh
orang, maka hanya akan tersisa sepuluh sampai lima belas orang saja.
Saya jadi teringat open rekruitment FLP Yogyakarta dengan segala
keruwetannya, dan kesenangannya. Oya, obrolan kami juga ditemani Ayam Goreng
Opik Oman dan es teh manis.
Selain untuk membiayai kegiatan FLP Solo, uang pendaftaran seminar
tadi juga dialokasikan untuk membuat CV percetakan. CV inilah yang akan
mencetak karya-karya anggota FLP Solo. Seperti keinginan yang diungkapkan Bunda
Helvy Tiana Rosa pada Milad FLP 20 di Bandung tanggal 26 Februari lalu, FLP itu
adalah komunitas yang besar, maka sudah seharusnya jika FLP bisa menghidupi
dirinya sendiri. Penulisnya dari FLP, percetakan/penerbitan buku dari FLP
sendiri, dan pasar/pembaca minimal dari FLP sendiri. Maka, penulis-penulis FLP
bisa berkembang jika didukung oleh keluarganya sendiri.
Senja mulai turun, akhirnya kami memutuskan untuk undur diri.
Mengingat jadwal kereta dan kami juga ingin megabadikan moment perjalanan di
trotoar Solo dengan kamera. Kami menyerahkan kenang-kenangan berupa buku dari
salah satu anggota FLP Yogyakarta yang juga diterbitkan secara indie, namun
bukan di cetak di fotocopyan.
Dari Jaulah Sastra ini saya belajar, sesungguhnya memiliki buku
sendiri itu sangat mudah. Sangat mudah. Syarat yang paling berat sebenarnya
adalah, menulis naskahnya. Ya, lagi-lagi menjadi penulis itu yang dibutuhkan
adalah menulis. Bukan lagi penerbitan yang mau menerbitkan tulisan kita, karena
dengan mendatangi usaha fotocopyan yang tersebar dimana-mana pun kita
bisa menerbitkan karya kita dengan sangat mudah. Jadi, ingin memiliki buku
sendiri? Menulislah sekarang.